Apa yang dimaksud dengan Dalihan Na Tolu ?
Dalihan Natolu artinya tungku berkaki tiga. Pertanyaan berikutnya kenapa harus berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai peranan mutlak dan akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Wow suatu sistem yang sangat Demokratis.......
"Ompunta naparjolo martungkot salagunde, Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihuton ni na parpudi"
Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Na Tolu”
Pada masa dulu, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu, tungku itu dalam bahasa Batak disebut Dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan primer, digunakan untuk memasak makanan dan minuman. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Tungku (dalihan natolu), kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal, benda pengganjal ini dalam bahasa Batak Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak
Dalihan Natolu artinya tungku berkaki tiga. Pertanyaan berikutnya kenapa harus berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang mempunyai peranan mutlak dan akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu. Wow suatu sistem yang sangat Demokratis.......
"Ompunta naparjolo martungkot salagunde, Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihuton ni na parpudi"
Latar Belakang Pemakaian Istilah “Dalihan Na Tolu”
Pada masa dulu, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu, tungku itu dalam bahasa Batak disebut Dalihan. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan primer, digunakan untuk memasak makanan dan minuman. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Tungku (dalihan natolu), kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal, benda pengganjal ini dalam bahasa Batak Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak
Konsep Dalihan Na Tolu dalam hukum adat maupun budaya batak diartikan dalam tiga bagian yaitu :
1. Hula-hula
2. Dongan Tubu
3. Boru
Dalihan Na Tolu dalam pengelompokan masyarakat bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula-hula, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu dan ada saatnya menjadi Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.
(Sebagai contoh : Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur (berperan sebagai Boru) harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat (Berperan sebagai Hula-hula). Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal. Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ?
"Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru"
Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna,
molo so Manat mardongan tubu natajom ma adopanna,
jala molo so elek marboru andurabionma tarusanna.
Dalihan Natolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Penanannya dalam kehidupan sehari-hari sangat besar seperti halnya menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Kemudian dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.
Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki. Sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
"Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na"
Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Jadi pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru)
Dalam budaya Batak, ada umpasa yang mengatakan "Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan". Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.
Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.
Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan : berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Manat mardongan tubu/sabutuha : suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
"Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna"
Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.
Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah "jolo diseat hata asa di seat raut", artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).
"Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina,
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina"
Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
Peranan Dalihan Na Tolu dalam Sistem Pemerintahan
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.[rujukan?] Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Referensi :
1. Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta:Dian Utama, 2006).
2. J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004).
3. J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.
4. Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977).
5. H.P. Panggabean,Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu,(Jakarta: Dian Utama, 2007).
Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.
"Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na"
Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah. Jadi pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru)
Dalam budaya Batak, ada umpasa yang mengatakan "Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan". Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.
Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu, dst. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia.
Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan : berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Manat mardongan tubu/sabutuha : suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Toga Simamora yakni Purba, Manalu dan Debataraja. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
"Angka naso manta mardongan tubu, na tajom ma adopanna"
Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.
Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab. Namun harus diingat, dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.
Dalam kasus lain, manta mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah "jolo diseat hata asa di seat raut", artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umunya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi).
"Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina,
Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina"
Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralayannya. Namun untuk menjadikan tempahan itu, harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.
Peranan Dalihan Na Tolu dalam Sistem Pemerintahan
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.(Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandan tingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat.[rujukan?] Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Referensi :
1. Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta:Dian Utama, 2006).
2. J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis, 2004).
3. J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.
4. Batara Sangti,Sejarah Batak,(Balige: Karl Sianipar Company, 1977).
5. H.P. Panggabean,Pembinaan NilaiAdat Budaya Batak Dalihan Natolu,(Jakarta: Dian Utama, 2007).
horas...
BalasHapusApa perbedaan adat batak kota dengan adat batak di desa/kampong????