Wartawati senior, Annie Bertha Simamora, yang dikenal kritis dalam sejumlah tulisan dan pandangannya meninggal dunia pada usia 62 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Internasional, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin 11/8/03 pukul 11.30. Annie meninggal setelah dua tahun menderita penyakit kanker paru-paru dan sempat dirawat intensif di salah satu rumah sakit di Singapura. Terakhir ia menjabat sebagai anggota Dewan Redaksi Harian Sore Sinar Harapan. Jenazah Annie disemayamkan di rumah duka, yang merupakan tempat tinggalnya selama ini, di Kompleks Dinas Hukum dan Militer (Diskum) Cakrawijaya VI Blok J 11, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sebelum dimakamkan, jenazah Annie dibawa ke Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Marturia, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Jenazah Annie dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Kelapa, Jakarta Timur, hari Selasa 12/0/03 pukul 14.00 WIB. Annie lahir di Luwuk, Sulawesi Selatan, 16 April 1941. Annie bergabung dengan Sinar Harapan sejak 1 Juli 1972. Di rumahnya yang sederhana, Annie memilih tidak menikah dan hanya ditemani seorang pembantu. Anie muda menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di Methodist English School, Medan. Ia sempat meneruskan pendidikannya ke Fakultas Publisistik Universitas Indonesia, namun tidak tamat. Sesudah itu, Annie mengecap bermacam ilmu, di antaranya pendidikan sekolah tinggi teologia, komunikasi massa di Berlin Barat, mengikuti pendidikan atas beasiswa Colombo Plan di Australia, dan mengikuti Foreign Journalist Project, di Indiana University, Amerika Serikat. Karir jurnalistik Annie dimulai pada 1960 dengan bergabung bersama Harian Berita Indonesia sebagai reporter. Di harian itu ia bertahan hingga tahun 1964. Pada 1964-1971 ia bergabung bersama Harian Berita Yudha, dan kemudian pada 1971-1972 di Harian Proklamasi.
Sejak 1 Juli 1972 Annie bergabung dengan Harian Sinar Harapan sampai harian itu dibatalkan SIUPP-nya pada 8 Oktober 1986, dan kemudian terbit kembali dengan nama Suara Pembaruan pada 4 Februari 1987. Ia memasuki masa pensiun di Suara Pembaruan pada 1 Mei 1998. Tetapi, Annie tak pernah berhenti berkarya. Ia tetap aktif menulis hingga akhir 2000. Ketika Sinar Harapan terbit kembali pada tahun 2001, Annie pun kembali ke harian itu dengan menduduki posisi Dewan Redaksi.
Selama menjalani tugas jurnalistik, ia lebih banyak bertugas di lingkungan Departemen Luar Negeri. Hal itu membuatnya lebih dikenal luas di kalangan diplomatik Indonesia di luar negeri maupun korps diplomatik asing yang bertugas di Jakarta. Ia juga dikenal dekat dengan pejabat-pejabat penting negeri ini seperti Moerdiono, Mensesneg pada masa Orde Baru. Karena kerap bertemu dengan Moerdiono, ia jadi paham maksud pernyataan presiden yang disampaikan menterinya itu. Namun, sebagai wartawan profesional, ia sering mencari klarifikasi pernyataan Soeharto yang disampaikan melalui Moerdiono. Pengalaman dan pergaulannya sebagai wartawan membuat wawasannya begitu luas. Dengan keluasan wawasannya itu, ia sering diminta memberikan ceramah kepada calon-calon diplomat Indonesia. Gayanya dalam memberi ceramah dan gaya berceritanya selalu menarik perhatian. Annie dikenal sebagai wartawan dengan mobilitas tinggi. Dengan mobilitasnya itu tak heran jika ia susah ditemui di kantor, apalagi di rumah. Ia tak pernah berhenti bergerak. Semua rekan kerjanya menggurauinya lebih hapal ilmu bumi dunia daripada nama-nama kota di Indonesia! Kaki Annie teramat panjang menjangkau negara-negara di Eropa, Amerika, Australia, dan tidak terhitung negara-negara Asia. “Tugas ke luar negeri seperti ke Pasar Baru saja,” rekan-rekan kerja mengibaratkan. Annie mengaku tertarik menjadi wartawan karena profesi ini glamour. Beruntung ia ditempatkan di desk luar negeri, yang dengan begitu ia sering bepergian meninggalkan negeri ini. Tokoh-tokoh politik, diplomat, hingga kepala negara banyak yang mengenalnya dengan baik dan tak segan-segan mengundangnya untuk berkeliling negaranya, atau untuk sekadar makan bersama keluarga. Di setiap pertemuan, ia sangat lincah mengumpulkan informasi dan berita. Dalam konferensi-konferensi pers, baik bertaraf nasional maupun internasional, ia terkenal galak melancarkan pertanyaan bernada jebakan. Annie pula satu-satunya yang berjuang untuk mendapatkan kesempatan bertanya dan mendapat jawaban dari Presiden Bill Clinton, ketika Presiden AS itu berkunjung ke Indonesia. “Masak dia cuma kasih kesempatan kepada wartawan Gedung Putih?” katanya pada saat itu.
Kepergian Annie ternyata membawa duka bagi banyak kalangan. Pada Senin sore sampai malam hari tampak melayat di rumah duka mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, mantan Menlu Ali Alatas, mantan Menneg KLH Sarwono Kusumaatmadja, pendiri CSIS Hary Tjan Silalahi dan lain-lain. Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam dari Lampung mengirimkan SMS ikut berduka cita atas meninggalkan Annie Bertha. Ia mengatakan pers Indonesia kehilangan wartawati yang hebat dan profesional.
Kenangan Sabam Siagian
Wartawan senior Sabam Siagian, mantan Wapemred Sinar Harapan memiliki banyak kenangan terhadap almarhumah. Pada tahun 1976, ASEAN untuk pertama kalinya menyelenggarakan pertemuan puncak antarpemimpin pemerintahan di Bali. Pada saat itu negara anggota ASEAN hanya lima, yakni para pendirinya yang mendirikan organisasi itu pada tahun 1967 di Bangkok. “SH” mengirim tim peliput yang paling besar dibandingkan media lain yang dipimpinnya. Ada Sam Pardede (redaktur luar negeri), alm Soedjono (redaktur ekonomi), juru potret, tenaga administrasi. Tapi anggota tim “SH” yang paling menonjol adalah Annie Bertha yang dikenal sebagai “star reporter”. Jam kerjanya praktis 24 jam. Ketika saya tanya: “Annie Bertha, coba cari tahu latar belakang info yang kita peroleh tentang deklarasi yang akan dikeluarkan pertemuan puncak ini …”, ia segera aktif. Meskipun sudah tengah malam, ia langsung menghubungi Menlu Adam Malik yang dikenalnya secara akrab. Karena sudah tidur, ia bentak ajudannya dan minta sampaikan: “Annie Bertha mau bicara”. Bung Adam memang seorang insan politik, ia suka pada wartawan yang agresif dan khususnya ia punya soft spot pada Annie Bertha. “Ini masih rahasia Annie, jangan paksa saya langgar sumpah jabatan …,” kata Bung Adam, setengah bergurau tapi juga setengah serius “Ah, sama saya kok masih punya rahasia,” dijawab dengan nada agak genit. Alhasil, SH mendapat info yang belum diperoleh koran lain, meskipun tidak dalam bentuk lengkap. Keuletan kerja dan kegesitan naluri jurnalistik merupakan ciri-ciri menonjol dalam profil kepribadian almarhumah. Pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an itu, tidak banyak wartawan wanita yang aktif menonjol di Jakarta. Biasanya yang disebut-sebut hanya empat nama: Annie Bertha Simamora dari “SH”, Threes Nio dari Kompas, Toeti Kakiailatoe dari Mingguan Tempo, dan Ita Samsudin dari Kantor Berita Antara. Kalau mereka jumpa di lapangan dan sama-sama meliput sebuah peristiwa, kadang-kadang timbul korslet. Wartawan pria biasanya minggir mengalah menyaksikan empat primadona itu saling bersaing. PD dan ego kuat agaknya sudah merupakan ciri wartawan yang merasa ulung. Namun pada Annie Bertha sering porsinya agak berlebihan. Dia kesal dan malahan marah kalau beritanya dipotong atau diperbaiki yang menurut dia justru merusak hasil olahannya. Redaktur yang menangani beritanya mesti tabah menampung omelan atau komentar tajam yang datang dari Annie kalau berani mengutik-utik berita yang ditulisnya. Pernah sekali redaktur yang bertugas meneliti beritanya datang ke ruang kerja saya. “Anda saja yang menangani ini. Menurut saya, berita ini tidak logis dan terlalu spekulatif,” Saya baca dan sependapat dengan rekan redaktur itu. Dengan tenang saya menghampiri meja Annie dan meletakkan copy beritanya. “Ini belum bisa dimuat. Cari info pelengkap dan tulis ulang dengan urutan yang logis,” lalu kembali ke ruangan kerja pimpinan.
Ia tidak protes tapi dari rekannya saya dengar betapa dia marah dan ngomel: “Baru kemarin dulu jadi wartawan, mentang-mentang senior, berani tolak berita saya…” Tapi dia juga tahu berterima kasih. Pada tahun 1986, saya ikut tim wartawan yang meliput perjalanan Presiden Soeharto keliling dunia dengan tujuan utama Washington, DC. Saya minta Annie Bertha bertugas ikut meliput kegiatan rombongan Presiden di Washington, DC yang cukup padat. Salah satu acara menarik dan rebutan di kalangan tim wartawan adalah jamuan resmi makan malam di Gedung Putih di mana para pria diwajibkan mengenakan stelan hitam dengan dasi kupu-kupu hitam. Tempat untuk wartawan Indonesia dibatasi. “Anda saja yang ambil oper tempat saya. Protokol Presiden sudah saya beritahu. Mungkin nama dubes AS untuk Indonesia yang baru akan diumumkan oleh Presiden Reagan”. Saya sampaikan pada Annie, laporannya tentang dinner di Gedung Putih menarik, gaya penulisan hidup dengan kepingan info tentang menu, penampilan para tamu dan suasana keseluruhan. Annie terima kasih benar bahwa dia dapat kesempatan itu. Saya tidak katakan bahwa sorenya kebetulan saya jumpa dengan Prof. Widjojo Nitisastro, anggota rombongan Presiden, di lantai pertokoan Hotel Mayflower di mana rombongan menginap. Sambil melihat etalase toko-toko, ia ceritakan sekilas pembicaraan siang harinya dengan para tokoh pemerintahan Presiden Reagan. Saya ingin menulis beritanya malam hari itu. Tanpa menyebut nama sumber dan segera mengirimnya ke Jakarta. Kalau ikut dinner di White House, tidak mungkin lagi, karena besoknya kami meninggalkan Washington, DC.
Setelah Sinar Harapan dibredel secara permanen pada bulan Oktober 1986 dan setelah proses berliku-liku pemerintah menyetujui diterbitkan koran baru Suara Pembaruan sebagian besar redaksi SH bekerja untuk terbitan baru itu. Annie Bertha gabung dengan Suara Pembaruan. Sementara itu saya sudah pindah ke harian The Jakarta Post sebagai penugasan dari penerbit SH juga. Koran berbahasa Inggris itu merupakan usaha bersama dari empat partner.
Sudah jarang kami jumpa. Kalaupun sekali-sekali berpapasan, dia agaknya unhappy tentang berbagai hal. Dia mengeluh tentang pengelolaan harian SP yang dinilainya sebagai tidak profesional. Setelah dipensiunkan dari koran itu, dia juga tidak begitu gairah menulis di sana.
Sementara itu situasi kondisi lingkungan kemasyarakatan dan dunia pers berubah. Generasi baru para wartawan dan wartawati muncul. Kemahiran berbahasa Inggris bukan merupakan monopoli beberapa wartawan saja. Para pelaku di panggung politik, pemerintahan dan swasta baru sama sekali.
Saya akan tetap mengenang Annie Bertha Simamora sebagai seorang rekan yang tidak mengenal lelah dalam menyelesaikan tugasnya. Seorang wartawan yang ulet dan gesit dalam mengejar sumber berita.
Aset ASEAN
Nama Annie pun cukup berkibar di lingkungan ASEAN. Wartawan dari mancanegara banyak yang menanyakannya setelah cukup lama Annie tidak melakukan kegiatan jurnalistik, terutama setelah pensiun dari Suara Pembaruan. Salah seorang wartawan dari Thailand sempat bertanya kepada wartawan Sinar Harapan, ”Anda di Sinar Harapan ya, bagaimana kabarnya dengan Annie, apakah dia masih aktif?” begitulah pertanyaan seorang rekan wartawan Thailand dari harian The Nation ketika bertemu SH di sela-sela Konferensi Tingkat Menteri Asia Europe Meeting (ASEM) di Bali, Juli lalu.
Dia wartawan hebat, pertanyaannya selalu tajam, komentar teman itu. Mungkin dia kehilangan Annie Bertha Simamora, yang dua tahun terakhir ini memang sudah tidak lagi terlalu aktif beredar melakukan tugas-tugas jurnalistik, karena menderita sakit.
Begitulah popularitas seorang Annie Bertha Simamora di kalangan wartawan internasional. Bisa dikatakan, dia adalah aset ASEAN.
Buat dunia pers Indonesia, ini suatu kehilangan besar karena dia salah satu wartawan berkaliber internasional yang dimiliki. Seorang wartawati yang penuh semangat, berdedikasi, dan tidak mau kalah mengejar berita. ”Dia memang luar biasa. Dorongannya untuk mengejar berita sangat mengagumkan,” ujar mantan Menlu, Mochtar Kusumaatmadja, yang datang langsung ke rumah duka di Komplek Diskum AD, Cipinang Muara, Jakarta Timur, tak lama setelah jenazah tiba dari rumah sakit. Bahkan, Mochtar mengakui Annie ikut berperan, meski tidak langsung, dalam banyak proses diplomasi. Pada berbagai kesempatan di forum internasional Annie menjadi ”juru bicara” tak resmi Indonesia. Annie yang patriotik, ikut memberi warna dalam berbagai proses diplomasi Indonesia, sejak zaman Menlu Adam Malik (almarhum), Mochtar Kusumaatmadja dan Ali Alatas, atau hampir tiga dekade, malang melintang sebagai wartawan yang meliput masalah diplomasi.
Ketangguhan dan keuletan Annie dalam mengejar berita banyak diakui wartawan lain. Misalnya, dia secara eksklusif mendapat jawaban langsung dari Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang bersedia melepas klaim Manila atas Sabah, di sela-sela KTT ASEAN tahun 1977. Padahal, semua wartawan yang meliput waktu itu juga menunggu jawaban itu dan hanya bisa menyaksikan keberuntungan Annie.
Peneliti senior dari CSIS (Center for Strategic and International Studies), Harry Tjan Silalahi mengenang almarhumah sebagai pribadi yang terbuka dan tegas. ”Annie itu orangnya bersikap terbuka dan straight-forward. Itu kesan yang saya tangkap saat kami berdiskusi dalam beberapa kesempatan,” kata Harry, yang pertama kali mengenal almarhumah ketika menjadi anggota Komisi I DPR tahun 1967.
Terkenal di Deplu
Bahwa Annie sangat terkenal di Deplu diakui hampir semua diplomat dan pegawai di sana. Bahkan, dia bisa dianggap sebagai guru oleh para diplomat muda. Direktur Informasi dan Media Deplu, M. Wahid Surpiyadi, yang termasuk diplomat muda, mengaku belum pernah bertemu langsung dengan almarhumah. Namun dari teman-temannya, Wahid mengetahui almarhumah sebagai wartawati yang berani dan kritis. ”Saya dengar ada teman-teman saya yang pernah ditegur Ibu Annie karena tidak memberitahukan acara penting di Deplu,” kata Wahid yang bertandang ke rumah duka Senin lalu (11/8). Seorang staf bidang informasi dan media Deplu, Rusdi, mengakui bahwa almarhumah identik dengan Sinar Harapan. Bahkan Rusdi mengaku pernah dimarahi almarhumah saat tidak memberi tahu acara penting di Deplu ketika masih dipimpin Menlu Ali Alatas. Sejak itu saya selalu terkenang dengan Ibu Annie, kata Rusdi.
Irawan Abidin, mantan Direktur Penerangan Luar Negeri, yang mengaku kenal baik dengan almarhumah sejak tahun 1973 dan ketika almarhumah menjadi koresponden di Deplu, sangat sedih atas kepergian almarhumah. Maaf saya sengaja tidak mau memberi komentar dulu karena saya sedang membuat tulisan khusus tentang Ibu Annie,” kata Irawan saat ditanya kesannya tentang almarhumah melalui telepon. Bahkan, mantan Duta Besar Indonesia untuk Italia, Vatikan, dan Yunani tersebut mengaku sempat terharu saat menjenguk almarhumah kemarin malam.
Selalu Konsisten
Bachtiar Sitanggang, mantan wartawan Suara Pembaruan dan Sinar Harapan yang kini berprofesi pengacara, menilai, Annie adalah sosok wartawan yang senantiasa mengatakan ya di atas ya dan tidak kalau tidak. Sikap itu ditunjukkannya hampir kepada setiap orang tak pandang bulu pangkat dan jabatannya dan pada berbagai kesempatan secara terbuka. Ini yang membuat banyak orang enggan berhadapan dengannya.
Annie Bertha tidak sungkan menegor seorang pejabat tinggi termasuk menteri di depan bawahannya atas sesuatu yang mungkin tidak berjalan dengan semestinya. Banyak orang menghindari Annie, karena keterbukaannya itu, padahal bagi orang yang tahu kepribadian dan keikhlasan seorang Annie justru senang bergaul dengan dia, demikian Bachtiar, yang lama bertugas meliput di Istana semasa Presiden Soeharto.
Annie yang namanya suka diplesetkan menjadi Annie Bertha Sing Ora-Ora, juga sosok yang hangat dan menyenangkan. Kalau sudah ketemu, bisa berjam-jam dia bercerita mengenai berbagai pengalamannya yang sangat menarik dan kaya. Dia memang sangat menikmati pekerjaannya di dunia pers yang disebutnya glamour itu.
Merakyat
Walau berkawan dengan para menteri, duta besar, diplomat dan para pejabat lainnya, Annie sebenarnya juga diterima baik oleh lingkungannya. Dia pernah menjadi ketua RT selama beberapa tahun di lingkungan rumahnya, dan cukup populer di antara warga. Dia juga pernah dicalonkan untuk menjadi anggota Dewan Kelurahan di Kelurahan Cipinang Muara, pada 2001 lalu namun kalah dalam pemilihan.
Di kalangan gereja, dia juga seorang aktivis, baik di PGI maupun kalangan organisasi wanita gereja. Teman-temannya di kalangan wanita gerejalah yang banyak terlibat mempersiapkan pemakaman almarhumah pada hari Selasa (12/8) ini. Di saat-saat terakhir hidupnya, Annie masih memperlihatkan ketegaran dan keteguhan hatinya. Dia masih sering bertelepon ke kantor dan menyampaikan pesan-pesan dan saran liputan. Padahal dia sudah dalam keadaan lemah dan dilarang banyak bicara. Kini, Annie telah pergi meninggalkan kita semua. Namun kenangan mengenai dirinya akan tetap abadi, dan terekam dalam sejarah, melalui tulisan-tulisan dan berbagai laporan jurnalistiknya.
Satu hal yang tidak pernah dilupakan Annie, walaupun banyak menghabiskan waktu di kantor dan bertugas di luar negeri, Annie berkarya untuk gereja. Satu di antaranya, ia pernah menangani Buletin Oikoumene yang diterbitkan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Annie telah kembali ke rumah Bapa di Surga. Selamat jalan, Zus Annie.
Sejak 1 Juli 1972 Annie bergabung dengan Harian Sinar Harapan sampai harian itu dibatalkan SIUPP-nya pada 8 Oktober 1986, dan kemudian terbit kembali dengan nama Suara Pembaruan pada 4 Februari 1987. Ia memasuki masa pensiun di Suara Pembaruan pada 1 Mei 1998. Tetapi, Annie tak pernah berhenti berkarya. Ia tetap aktif menulis hingga akhir 2000. Ketika Sinar Harapan terbit kembali pada tahun 2001, Annie pun kembali ke harian itu dengan menduduki posisi Dewan Redaksi.
Selama menjalani tugas jurnalistik, ia lebih banyak bertugas di lingkungan Departemen Luar Negeri. Hal itu membuatnya lebih dikenal luas di kalangan diplomatik Indonesia di luar negeri maupun korps diplomatik asing yang bertugas di Jakarta. Ia juga dikenal dekat dengan pejabat-pejabat penting negeri ini seperti Moerdiono, Mensesneg pada masa Orde Baru. Karena kerap bertemu dengan Moerdiono, ia jadi paham maksud pernyataan presiden yang disampaikan menterinya itu. Namun, sebagai wartawan profesional, ia sering mencari klarifikasi pernyataan Soeharto yang disampaikan melalui Moerdiono. Pengalaman dan pergaulannya sebagai wartawan membuat wawasannya begitu luas. Dengan keluasan wawasannya itu, ia sering diminta memberikan ceramah kepada calon-calon diplomat Indonesia. Gayanya dalam memberi ceramah dan gaya berceritanya selalu menarik perhatian. Annie dikenal sebagai wartawan dengan mobilitas tinggi. Dengan mobilitasnya itu tak heran jika ia susah ditemui di kantor, apalagi di rumah. Ia tak pernah berhenti bergerak. Semua rekan kerjanya menggurauinya lebih hapal ilmu bumi dunia daripada nama-nama kota di Indonesia! Kaki Annie teramat panjang menjangkau negara-negara di Eropa, Amerika, Australia, dan tidak terhitung negara-negara Asia. “Tugas ke luar negeri seperti ke Pasar Baru saja,” rekan-rekan kerja mengibaratkan. Annie mengaku tertarik menjadi wartawan karena profesi ini glamour. Beruntung ia ditempatkan di desk luar negeri, yang dengan begitu ia sering bepergian meninggalkan negeri ini. Tokoh-tokoh politik, diplomat, hingga kepala negara banyak yang mengenalnya dengan baik dan tak segan-segan mengundangnya untuk berkeliling negaranya, atau untuk sekadar makan bersama keluarga. Di setiap pertemuan, ia sangat lincah mengumpulkan informasi dan berita. Dalam konferensi-konferensi pers, baik bertaraf nasional maupun internasional, ia terkenal galak melancarkan pertanyaan bernada jebakan. Annie pula satu-satunya yang berjuang untuk mendapatkan kesempatan bertanya dan mendapat jawaban dari Presiden Bill Clinton, ketika Presiden AS itu berkunjung ke Indonesia. “Masak dia cuma kasih kesempatan kepada wartawan Gedung Putih?” katanya pada saat itu.
Kepergian Annie ternyata membawa duka bagi banyak kalangan. Pada Senin sore sampai malam hari tampak melayat di rumah duka mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, mantan Menlu Ali Alatas, mantan Menneg KLH Sarwono Kusumaatmadja, pendiri CSIS Hary Tjan Silalahi dan lain-lain. Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam dari Lampung mengirimkan SMS ikut berduka cita atas meninggalkan Annie Bertha. Ia mengatakan pers Indonesia kehilangan wartawati yang hebat dan profesional.
Kenangan Sabam Siagian
Wartawan senior Sabam Siagian, mantan Wapemred Sinar Harapan memiliki banyak kenangan terhadap almarhumah. Pada tahun 1976, ASEAN untuk pertama kalinya menyelenggarakan pertemuan puncak antarpemimpin pemerintahan di Bali. Pada saat itu negara anggota ASEAN hanya lima, yakni para pendirinya yang mendirikan organisasi itu pada tahun 1967 di Bangkok. “SH” mengirim tim peliput yang paling besar dibandingkan media lain yang dipimpinnya. Ada Sam Pardede (redaktur luar negeri), alm Soedjono (redaktur ekonomi), juru potret, tenaga administrasi. Tapi anggota tim “SH” yang paling menonjol adalah Annie Bertha yang dikenal sebagai “star reporter”. Jam kerjanya praktis 24 jam. Ketika saya tanya: “Annie Bertha, coba cari tahu latar belakang info yang kita peroleh tentang deklarasi yang akan dikeluarkan pertemuan puncak ini …”, ia segera aktif. Meskipun sudah tengah malam, ia langsung menghubungi Menlu Adam Malik yang dikenalnya secara akrab. Karena sudah tidur, ia bentak ajudannya dan minta sampaikan: “Annie Bertha mau bicara”. Bung Adam memang seorang insan politik, ia suka pada wartawan yang agresif dan khususnya ia punya soft spot pada Annie Bertha. “Ini masih rahasia Annie, jangan paksa saya langgar sumpah jabatan …,” kata Bung Adam, setengah bergurau tapi juga setengah serius “Ah, sama saya kok masih punya rahasia,” dijawab dengan nada agak genit. Alhasil, SH mendapat info yang belum diperoleh koran lain, meskipun tidak dalam bentuk lengkap. Keuletan kerja dan kegesitan naluri jurnalistik merupakan ciri-ciri menonjol dalam profil kepribadian almarhumah. Pada tahun-tahun 1970-an dan 1980-an itu, tidak banyak wartawan wanita yang aktif menonjol di Jakarta. Biasanya yang disebut-sebut hanya empat nama: Annie Bertha Simamora dari “SH”, Threes Nio dari Kompas, Toeti Kakiailatoe dari Mingguan Tempo, dan Ita Samsudin dari Kantor Berita Antara. Kalau mereka jumpa di lapangan dan sama-sama meliput sebuah peristiwa, kadang-kadang timbul korslet. Wartawan pria biasanya minggir mengalah menyaksikan empat primadona itu saling bersaing. PD dan ego kuat agaknya sudah merupakan ciri wartawan yang merasa ulung. Namun pada Annie Bertha sering porsinya agak berlebihan. Dia kesal dan malahan marah kalau beritanya dipotong atau diperbaiki yang menurut dia justru merusak hasil olahannya. Redaktur yang menangani beritanya mesti tabah menampung omelan atau komentar tajam yang datang dari Annie kalau berani mengutik-utik berita yang ditulisnya. Pernah sekali redaktur yang bertugas meneliti beritanya datang ke ruang kerja saya. “Anda saja yang menangani ini. Menurut saya, berita ini tidak logis dan terlalu spekulatif,” Saya baca dan sependapat dengan rekan redaktur itu. Dengan tenang saya menghampiri meja Annie dan meletakkan copy beritanya. “Ini belum bisa dimuat. Cari info pelengkap dan tulis ulang dengan urutan yang logis,” lalu kembali ke ruangan kerja pimpinan.
Ia tidak protes tapi dari rekannya saya dengar betapa dia marah dan ngomel: “Baru kemarin dulu jadi wartawan, mentang-mentang senior, berani tolak berita saya…” Tapi dia juga tahu berterima kasih. Pada tahun 1986, saya ikut tim wartawan yang meliput perjalanan Presiden Soeharto keliling dunia dengan tujuan utama Washington, DC. Saya minta Annie Bertha bertugas ikut meliput kegiatan rombongan Presiden di Washington, DC yang cukup padat. Salah satu acara menarik dan rebutan di kalangan tim wartawan adalah jamuan resmi makan malam di Gedung Putih di mana para pria diwajibkan mengenakan stelan hitam dengan dasi kupu-kupu hitam. Tempat untuk wartawan Indonesia dibatasi. “Anda saja yang ambil oper tempat saya. Protokol Presiden sudah saya beritahu. Mungkin nama dubes AS untuk Indonesia yang baru akan diumumkan oleh Presiden Reagan”. Saya sampaikan pada Annie, laporannya tentang dinner di Gedung Putih menarik, gaya penulisan hidup dengan kepingan info tentang menu, penampilan para tamu dan suasana keseluruhan. Annie terima kasih benar bahwa dia dapat kesempatan itu. Saya tidak katakan bahwa sorenya kebetulan saya jumpa dengan Prof. Widjojo Nitisastro, anggota rombongan Presiden, di lantai pertokoan Hotel Mayflower di mana rombongan menginap. Sambil melihat etalase toko-toko, ia ceritakan sekilas pembicaraan siang harinya dengan para tokoh pemerintahan Presiden Reagan. Saya ingin menulis beritanya malam hari itu. Tanpa menyebut nama sumber dan segera mengirimnya ke Jakarta. Kalau ikut dinner di White House, tidak mungkin lagi, karena besoknya kami meninggalkan Washington, DC.
Setelah Sinar Harapan dibredel secara permanen pada bulan Oktober 1986 dan setelah proses berliku-liku pemerintah menyetujui diterbitkan koran baru Suara Pembaruan sebagian besar redaksi SH bekerja untuk terbitan baru itu. Annie Bertha gabung dengan Suara Pembaruan. Sementara itu saya sudah pindah ke harian The Jakarta Post sebagai penugasan dari penerbit SH juga. Koran berbahasa Inggris itu merupakan usaha bersama dari empat partner.
Sudah jarang kami jumpa. Kalaupun sekali-sekali berpapasan, dia agaknya unhappy tentang berbagai hal. Dia mengeluh tentang pengelolaan harian SP yang dinilainya sebagai tidak profesional. Setelah dipensiunkan dari koran itu, dia juga tidak begitu gairah menulis di sana.
Sementara itu situasi kondisi lingkungan kemasyarakatan dan dunia pers berubah. Generasi baru para wartawan dan wartawati muncul. Kemahiran berbahasa Inggris bukan merupakan monopoli beberapa wartawan saja. Para pelaku di panggung politik, pemerintahan dan swasta baru sama sekali.
Saya akan tetap mengenang Annie Bertha Simamora sebagai seorang rekan yang tidak mengenal lelah dalam menyelesaikan tugasnya. Seorang wartawan yang ulet dan gesit dalam mengejar sumber berita.
Aset ASEAN
Nama Annie pun cukup berkibar di lingkungan ASEAN. Wartawan dari mancanegara banyak yang menanyakannya setelah cukup lama Annie tidak melakukan kegiatan jurnalistik, terutama setelah pensiun dari Suara Pembaruan. Salah seorang wartawan dari Thailand sempat bertanya kepada wartawan Sinar Harapan, ”Anda di Sinar Harapan ya, bagaimana kabarnya dengan Annie, apakah dia masih aktif?” begitulah pertanyaan seorang rekan wartawan Thailand dari harian The Nation ketika bertemu SH di sela-sela Konferensi Tingkat Menteri Asia Europe Meeting (ASEM) di Bali, Juli lalu.
Dia wartawan hebat, pertanyaannya selalu tajam, komentar teman itu. Mungkin dia kehilangan Annie Bertha Simamora, yang dua tahun terakhir ini memang sudah tidak lagi terlalu aktif beredar melakukan tugas-tugas jurnalistik, karena menderita sakit.
Begitulah popularitas seorang Annie Bertha Simamora di kalangan wartawan internasional. Bisa dikatakan, dia adalah aset ASEAN.
Buat dunia pers Indonesia, ini suatu kehilangan besar karena dia salah satu wartawan berkaliber internasional yang dimiliki. Seorang wartawati yang penuh semangat, berdedikasi, dan tidak mau kalah mengejar berita. ”Dia memang luar biasa. Dorongannya untuk mengejar berita sangat mengagumkan,” ujar mantan Menlu, Mochtar Kusumaatmadja, yang datang langsung ke rumah duka di Komplek Diskum AD, Cipinang Muara, Jakarta Timur, tak lama setelah jenazah tiba dari rumah sakit. Bahkan, Mochtar mengakui Annie ikut berperan, meski tidak langsung, dalam banyak proses diplomasi. Pada berbagai kesempatan di forum internasional Annie menjadi ”juru bicara” tak resmi Indonesia. Annie yang patriotik, ikut memberi warna dalam berbagai proses diplomasi Indonesia, sejak zaman Menlu Adam Malik (almarhum), Mochtar Kusumaatmadja dan Ali Alatas, atau hampir tiga dekade, malang melintang sebagai wartawan yang meliput masalah diplomasi.
Ketangguhan dan keuletan Annie dalam mengejar berita banyak diakui wartawan lain. Misalnya, dia secara eksklusif mendapat jawaban langsung dari Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang bersedia melepas klaim Manila atas Sabah, di sela-sela KTT ASEAN tahun 1977. Padahal, semua wartawan yang meliput waktu itu juga menunggu jawaban itu dan hanya bisa menyaksikan keberuntungan Annie.
Peneliti senior dari CSIS (Center for Strategic and International Studies), Harry Tjan Silalahi mengenang almarhumah sebagai pribadi yang terbuka dan tegas. ”Annie itu orangnya bersikap terbuka dan straight-forward. Itu kesan yang saya tangkap saat kami berdiskusi dalam beberapa kesempatan,” kata Harry, yang pertama kali mengenal almarhumah ketika menjadi anggota Komisi I DPR tahun 1967.
Terkenal di Deplu
Bahwa Annie sangat terkenal di Deplu diakui hampir semua diplomat dan pegawai di sana. Bahkan, dia bisa dianggap sebagai guru oleh para diplomat muda. Direktur Informasi dan Media Deplu, M. Wahid Surpiyadi, yang termasuk diplomat muda, mengaku belum pernah bertemu langsung dengan almarhumah. Namun dari teman-temannya, Wahid mengetahui almarhumah sebagai wartawati yang berani dan kritis. ”Saya dengar ada teman-teman saya yang pernah ditegur Ibu Annie karena tidak memberitahukan acara penting di Deplu,” kata Wahid yang bertandang ke rumah duka Senin lalu (11/8). Seorang staf bidang informasi dan media Deplu, Rusdi, mengakui bahwa almarhumah identik dengan Sinar Harapan. Bahkan Rusdi mengaku pernah dimarahi almarhumah saat tidak memberi tahu acara penting di Deplu ketika masih dipimpin Menlu Ali Alatas. Sejak itu saya selalu terkenang dengan Ibu Annie, kata Rusdi.
Irawan Abidin, mantan Direktur Penerangan Luar Negeri, yang mengaku kenal baik dengan almarhumah sejak tahun 1973 dan ketika almarhumah menjadi koresponden di Deplu, sangat sedih atas kepergian almarhumah. Maaf saya sengaja tidak mau memberi komentar dulu karena saya sedang membuat tulisan khusus tentang Ibu Annie,” kata Irawan saat ditanya kesannya tentang almarhumah melalui telepon. Bahkan, mantan Duta Besar Indonesia untuk Italia, Vatikan, dan Yunani tersebut mengaku sempat terharu saat menjenguk almarhumah kemarin malam.
Selalu Konsisten
Bachtiar Sitanggang, mantan wartawan Suara Pembaruan dan Sinar Harapan yang kini berprofesi pengacara, menilai, Annie adalah sosok wartawan yang senantiasa mengatakan ya di atas ya dan tidak kalau tidak. Sikap itu ditunjukkannya hampir kepada setiap orang tak pandang bulu pangkat dan jabatannya dan pada berbagai kesempatan secara terbuka. Ini yang membuat banyak orang enggan berhadapan dengannya.
Annie Bertha tidak sungkan menegor seorang pejabat tinggi termasuk menteri di depan bawahannya atas sesuatu yang mungkin tidak berjalan dengan semestinya. Banyak orang menghindari Annie, karena keterbukaannya itu, padahal bagi orang yang tahu kepribadian dan keikhlasan seorang Annie justru senang bergaul dengan dia, demikian Bachtiar, yang lama bertugas meliput di Istana semasa Presiden Soeharto.
Annie yang namanya suka diplesetkan menjadi Annie Bertha Sing Ora-Ora, juga sosok yang hangat dan menyenangkan. Kalau sudah ketemu, bisa berjam-jam dia bercerita mengenai berbagai pengalamannya yang sangat menarik dan kaya. Dia memang sangat menikmati pekerjaannya di dunia pers yang disebutnya glamour itu.
Merakyat
Walau berkawan dengan para menteri, duta besar, diplomat dan para pejabat lainnya, Annie sebenarnya juga diterima baik oleh lingkungannya. Dia pernah menjadi ketua RT selama beberapa tahun di lingkungan rumahnya, dan cukup populer di antara warga. Dia juga pernah dicalonkan untuk menjadi anggota Dewan Kelurahan di Kelurahan Cipinang Muara, pada 2001 lalu namun kalah dalam pemilihan.
Di kalangan gereja, dia juga seorang aktivis, baik di PGI maupun kalangan organisasi wanita gereja. Teman-temannya di kalangan wanita gerejalah yang banyak terlibat mempersiapkan pemakaman almarhumah pada hari Selasa (12/8) ini. Di saat-saat terakhir hidupnya, Annie masih memperlihatkan ketegaran dan keteguhan hatinya. Dia masih sering bertelepon ke kantor dan menyampaikan pesan-pesan dan saran liputan. Padahal dia sudah dalam keadaan lemah dan dilarang banyak bicara. Kini, Annie telah pergi meninggalkan kita semua. Namun kenangan mengenai dirinya akan tetap abadi, dan terekam dalam sejarah, melalui tulisan-tulisan dan berbagai laporan jurnalistiknya.
Satu hal yang tidak pernah dilupakan Annie, walaupun banyak menghabiskan waktu di kantor dan bertugas di luar negeri, Annie berkarya untuk gereja. Satu di antaranya, ia pernah menangani Buletin Oikoumene yang diterbitkan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Annie telah kembali ke rumah Bapa di Surga. Selamat jalan, Zus Annie.
sumber artikel : www.tokohindonesia.com