Berita Terbaru :

Free to Download Mp3 Batak

Anda tertarik dengan lagu-lagu batak berformat mp3? Silahkan kunjungi web ini dan dapatkan lagu mp3 batak yang disusun berdasarkan albumnya secara gratis, langsung download aja dan mainkan lagunya.

Pulo Simamora

Under construction

Bakkara

Under construction

Pulo Simamora

Under construction

Tipang

Under construction

Selasa, 31 Mei 2011

Dinasti Kerajaan Batak

Dalam peradaban Batak yang telah eksis dan terstruktur sejak ribuan tahun Sebelum Masehi, terdapat beberapa dinasti atau kerajaan Batak yang turut serta dalam memperkaya dan mengembangkan sejarah dan kebudayaan bangsa Batak.

Keberadaan kerajaan-kerajaan Batak ini cukup sulit untuk diungkapkan, mengingat penelitian sejarah yang masih sedikit serta peninggalan sejarah yang hampir tidak ada sama sekali, yang sering kita ketahui hanyalah melalui dongeng ataupun cerita legenda. Banyak mitos yang mengatakan bahwa kerajaan Batak adalah satu-satunya kerajaan yang tidak memiliki kerajaan nyata (istana) hanya sebutan saja, sebab kita sudah sering dengan bahwa setiap orang Batak itu adalah ANAK NI RAJA dan BORU NI RAJA.

Namun yang pasti bahwa Batak itu juga mempunyai rangkaian perjalanan sejarah yang cukup panjang, walaupun masih begitu banyak yang belum bisa diungkapkan / dituliskan. Ini merupakan tanggung jawab kita selaku generasi penerus suku Batak untuk dapat mengembangkan dan tetap melestarikan yang telah ada itu.
 
Berikut adalah beberapa dinasti kerajaan Batak tersebut yang telah turut serta membangun peradaban Batak, yang akan penulis ungkapkan pada postingan berikutnya.

horas...

Sabtu, 28 Mei 2011

Kisah Tujuh Keajaiban, Empat Batu dan Tiga Air (Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek)

Gondang Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), Pagar (Ramuan penangkal penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang bertuah), pungga Haomasan (Batu Gosok Emas), tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara Batak. Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti.

Keanehannya : Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.

Pertama :
Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.

Kedua :
Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.

Ketiga :
Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala.

Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

Demikianlah setelah Saribu Raja selesai memasukkan/menyimpan harta Pusaka ke dalam Batu Hobon, maka berangkatlah dia bersama si Boru Parese, mengembara ke hutan rimba raya hingga mereka sampai di Ulu Darat dan disanalah si Boru Pareme tinggal, hingga lahir anaknya yang diberi nama Raja Lontung.

Setelah si saribu Raja berangkat mengembara ke hutan rimba, maka abang mereka pun yaitu Raja Uti (mempunyai kesaktian) dan karena kesaktiannya terbang ke Pusuk Buhit dan dari Pusuk buhit terbang ke Barus dan Aceh, demikian juga adik mereka yang paling bungsu yaitu si Lau Raja dia berangkat ke sebelah timur menuju Pulau Samosir, demikian juga si Sagala Raja di perkampungan disana yaitu daerah Negeri Sagala yang sekarang.

Pada mulanya Limbong Mulana juga ikut membuka perkampungan di daerah Sianjur Mula-mula yang perkampungannya sekarang disebut Bagas Limbong, tetapi kemudian Limbong Mulana meninggalkan daerah bagas Limbong, dia kembali menempati daerah perkampungan orangtuanya yaitu daerah Parik Sabungan, disanalah Limbong Mulana tinggal menetap, kemudian membuat nama daerah itu daerah Limbong. Maka di negeri Limbong inilah tempat semua yang kita sebut di atas, PITU HALONGANGAN, OPAT BATU TOLU AEK, (Tujuh Keanehan, Empat Batu Tiga Air).

Yaitu :
1. Mual Ni Guru Tatea Bulan atau Aek Boras
2. Mual Ni Boru Pareme
3. Batu Parhusipan
4. Batu Pargasipan
5. Batu Nanggar
6. Batu Hobon
7. Mual Pansur Sipitu Dai

Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa) adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.

Air ini disebut "PANSUR SIPITU DAI" (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :
  1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
  2. Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
  3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
  4. Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
  5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
  6. Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
  7. Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong

KEANEHANNYA :
  1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
  2. Tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
  3. Selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
  4. Apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
  5. Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  6. Apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
  7. Di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.

Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.

Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
 
 
1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.

Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut "Datu Siboto Ari". Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap manusia.

Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut "Bulu Parhalaan".

Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas dalam kehidupan manusia. 
 
2. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
"Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia". (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).

Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari "dungdang" awal dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).

Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).

Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada Tuhan).

Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, "sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri". Dari mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).

Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.

3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.

4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai dengan "Pitu Hali Mangaliat" (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.

5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan "partuturan" (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Partuturan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :
1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.

6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.

Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.

Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
1. Saribu Raja
2. Limbong Mulana
3. Sagala Raja
4. Silau Raja
5. Boru Pareme
6. Bunga Haomasan
7. Anting Haomasan

Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan "Sipitu Tali' (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.

Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :

'Jonggi Manaor" dari turpuk Sidauruk
"Raja Sori" dari turpuk Borsak Nilaingan
"Raja Paradum" dari turpuk Nasiapulu
"Manontang Laut" dari turpuk Sihole
"Raja Paor" dari turpuk habeahan

Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Mahaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.

Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara "Hoda Somba" yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, "Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata" (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.

Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.

Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).

Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.

Tetapi ... setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.

Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.

Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu Marga "Siregar", adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini rusak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.

Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA HORAS ....

Jumat, 06 Mei 2011

Sejarah Suku Batak (Bagian 3)

450 M
Daerah Toba telah diolah dan dikelola secara luas oleh rakyat kerajaan tersebut. Mereka yang dominan terutama dari kubu Isumbaon, kelompok marga Si Bagot Ni Pohan.  Di daerah ini bermukim juga kaum Tatea Bulan yang membentuk kelompok minoritas terutama dari marga Lubis.

Sebagian dari Lubis terdesak ke luar Toba dan merantau ke selatan. Sebagain lagi menetap di Toba dan Uluan hingga kini. Keturunannya di Medan mendirikan banyak lembaga sosial terutama Pesantren Modern Darul Arafah di Pinggiran Kota Medan.

Di daerah Selatan kelompok marga Lubis harus bertarung melawan orang-orang Minang. Kalah. Perantauan berhenti dan mendirikan tanah Pekantan Dolok di Mandailing yang dikelilingi benteng pertahanan.

Mereka kemudian berhadapan dengan bangsa Lubu, Bangsa berkulit Hitam ras Dravidian yang terusir dari India, melalui Kepulauan Andaman berkelana sampai daerah muara Sungai Batang Toru. Bangsa Lobu tersingkir dan kemudian menetap di hutan-hutan sekitar Muara Sipongi. Bila di India Bangsa Arya meletakkan mereka sebagai bangsa terhina, ‘untouchable’; haram dilihat dan disentuh, maka nasib sama hampir menimpa mereka di sini. Saudara Bangsa Lubu, Bangsa Tamil migrasi beberapa abad kemudian, dari India Selatan, membonceng perusahaan-perusahaan Eropa dan membentuk Kampung Keling di Kerajaan Melayu Deli, Medan.

497 M
Para pengikut parmalim menyakini bahwa tahun 497 M atau 1450 tahun Batak, merupakan tahun kebangkitan pemikiran keagamaan di kepemimpinan Raja-raja Uti. Raja Uti dinobatkan sebagai Tokoh Spiritual Batak dan Rasul Batak

502-557 M
Orang-orang Cina datang ke Barus. Orang Cina mengenal Barus dengan istilah P'o-lu-shih yang berarti pelabuhan peng-expor kapur. Sebuah itilah yang berasal dari kata Cina yang berarti harum: "P'o-lu" (Drakard 1993:3). Dalam teks-teks Cina pada zaman Dinasti Liang (502-557), saat itu, kapur dikenal dengan nama "obat salap dari P'o-lu atau Barus" atau P'o-lu-shih .

600-700 M
Pada abad ke-7, utusan dagang kerajaan Barus Hatorusan berangkat dari barus menuju ke Cina membicarakan perdagangan bilateral antara Sumatera dan Cina (Wolters 33).

600-1200
Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sori Mangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur di tangan orang Batak Gayo mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan magma tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.

Di daerah pesisir Barat, Barus, kota maritim yang bertambah pesat yang sekarang masuk di Kerajaan Batak mulai didatangi pelaut-pelaut baru, terutama Cina, Pedagang Gujarat, Persia dan Arab. Pelaut-pelaut Romawi Kuno dan Yunani Kuno sudah digantikan oleh keturunan mereka pelaut-pelaut Eropa yang lebih canggih, dididikan Arab Spanyol. Islam mulai diterima sebagai kepercayaan resmi oleh sebagian elemen pedagang Bangsa Batak yang mengimpor bahan perhiasan dan alat-alat teknologi lainnya serta mengekpor kemenyan komoditas satu-satunya tanah Batak yang sangat diminati dunia.

Islam mulai dikenal dan diterima sebagai agama resmi orang-orang Batak di pesisir; khusunya Singkil dan Barus.

600-700 M
Sriwijaya menjajah Barus. Sementara itu laporan Cina yang lain mengatakan bahwa Sriwijaya pada abad ke-7 dan 8 merupakan kerajaan ganda satu diantaranya ialah Barus (Wolters 9). Diyakini lokasi strategis Barus dan volume perdagangan di wilayah tersebut membuat kerajaan Hatorusan terlibat dalam pertikaian politik dengan kerajaan Sriwijaya dari Sumatera Selatan dan Jawa, sehingga saling menganeksasi.

Hubungan Barus dengan Sriwijaya dibicarakan di dalam kitab Sunda lama "Carita Parahyangan" yang mengatakan bahwa Barus merupakan daerah taklukan dari Raja Sanjaya, raja Sumatera dari Sriwijaya yang berkuasa di Jawa dan mendirikan candi Borobudur (Krom 126).

850 M
Kelompok Marga Harahap dari Kubu Tatea Bulan, bekas populasi Habinsaran bermigrasi massal ke arah Timur. Menetap di aliran sungai Kualu dan Barumun di Padang Lawas. Kelompok ini sangat hobbi berkuda sebagai kendaraan bermigrasi.

Karena ini, dalam jangka waktu yang singkat, sekitar dua tahun, mereka sudah menguasai hampir seluruh daerah Padang Lawas antara sungai Asahan dan Rokan. Sebuah daerah padang rumput yang justru sangat baik untuk mengembangbiakkan kuda-kuda mereka.

Sebagain dari kelompok marga ini, melalui Sipirok, menduduki daerah Angkola dan di sini tradisi mengembala dan menunggang kuda hilang, mereka kembali menjadi komunitas agraris. Sementara di Padang Lawas mereka menjadi penguasa feodalistik dan mulai memperkenalkan perdagangan budak ke Tanah Batak Selatan.

851 M
Laporan Sulaiman pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).

Ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Perlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan.

900 M
Marga Nasution mulai terbentuk di Mandailing. Beberapa ratus tahun sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama masyarakat Batak di sini, disinyalir saat itu zaman Nabi Sulaiman di Timur Tengah (Buku Ompu Parlindungan), perbauran penduduk dengan pendatang sudah menjadi tradisi di beberapa tempat, khusunya yang di tepi pantai.

Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.

Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.

Sementara itu perebutan kekuasaan terjadi di Pusat Pemerintahan Kerajaan batak, martua Raja Doli dari Sianjur Sagala Limbong Mulana dengan pasukannya merebut wilayah Lottung di Samosir Timur. Percampuran keduanya membentuk kelompok Marga Lottung Si Sia Marina, yang terdiri atas; Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Pandiangan, Simatupang, Aritonang dan Siregar.

Ibnu Rustih, mengunjungi Barus kurang lebih pada tahun 900 M, menyebut Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79).

902 M
Ibnu Faqih, mengunjungi Barus, melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).


1050 M
Karena minimnya peralatan medis, epidemik melanda daerah Lottung kembali. Masyarakat Lottung Si Sia Marina berhamburan ke luar dari wilayah tersebut menuju daerah yang “sehat”. Akibatnya, kelompok Marga Siregar terpecah dua menjadi Siregar Sigumpar dan Siregar Muara, keduanya bermukin di Toba.

1070-1120
Kemasyhuran Barus juga mengundang imigran asing bermukim dan berdagang serta menjadi buruh di beberapa sentral industri. Sebuah inskripsi Tamil bertarikh 1088 M dari zaman pemerintahan Kulottungga I (1070-1120) dari kerajaan Cola menyebut Barus terletak di Lobu Tua, dan banyak orang Tamil tinggal di kota ini sebagai saudagar dan pengrajin (Krom 59-60).

Guru Marsakkot Pardosi, Salah satu Dinasti Pardosi di Barus menjadi Raja di Lobu Tua, Barus. Nenek moyangnya berasal dari Tukka, Pakkat di Negeri Rambe yang datang dari Balige, Toba.

Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idris, memberitakan mengenai ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.

Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya dalah orang-orang Pakpak dan Toba.


Sejarah Suku Batak (Bagian 2)

1000 SM
Bangsa Mongol yang dikenal bengis dan mempunyai kemajuan teknologi yang lebih tinggi berkat hubungan mereka yang konsisten dengan berbagai bangsa mulai bergerak ke arah selatan. Di sana, keturunan mereka menyebut dirinya Bangsa Syan dan kemudian menciptakan komunitas Burma, Siam (Thai) dan Kamboja yang kemudian menjadi cikal-bakal negara.

Ras Proto Malayan mulai terdesak. Ketertutupan mereka menjadi bumerang karena teknologi mereka tidak up to date. Sebagian dari mereka kemudian mulai meninggalkan daerah-daerah tersebut, menempuh perjalanan untuk mencari daerah baru bahkan ke seberang lautan, di mana mereka akan menikmati hidup dalam ‘splendid isolation’ kembali.

Bangsa Bontoc bergerak ke daerah Filipina, Bangsa Toraja ke selatannya, Sulawesi. Di Filipina, Batak Palawan merupakan sebuah suku yang sampai sekarang menggunaka istilah Batak. Saudara mereka bangsa Tayal membuka daerah di kepulauan Formosa, yang kemudian, beberapa abad setelah itu, daerah mereka diserobot dan kedamaian hidup mereka terusak oleh orang-orang Cina nasionalis yang kemudian menamakannya Taiwan.

Yang lain, Bangsa Ranau terdampar di Lampung. Bangsa Karen tidak sempat mempersiapkan diri untuk migrasi, mereka tertinggal di hutan belantara Burma/Myanmar dan sampai sekarang masih melakukan pemberontakan atas dominasi Suku Burma atau Myamar yang memerintah.

Selebihnya, Bangsa Meo berhasil mempertahankan eksistensinya di Thailand. Bangsa Naga, Manipur, Mizo, Assamese mendirikan negara-negara bagian di India dan setiap tahun mereka harus berjuang dan berperang untuk mempertahankan identitas mereka dari supremasi bangsa Arya-Dravidian, yakni Bangsa India, yang mulai menduduki daerah tersebut karena over populasi.

Bangsa Batak sendiri, selain terdampar di Filipina, sebagian terdampat di kepulauan Andaman (sekarang merupakan bagian dari India) dan Andalas dalam tiga gelombang.

Yang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut dan sampai ke Pulau Enggano. Gelombang kedua terdampar di muara Sungai Simpang. Mereka kemudian bergerak memasuki pedalaman Pulau Andalas menyusuri sungai Simpang Kiri dan mulai mendirikan tempat di Kotacane. Komunitas ini berkembang dan membuat identitas sendiri yang bernama Batak Gayo. Mereka yang menyusuri Sungai Simpang Kanan membentuk Komunitas Batak Alas dan Pakpak. Batak Gayo dan Alas kemudian dimasukkan Belanda ke peta Aceh.

Mainstream dari Suku bangsa Batak mendarat di Muara Sungai Sorkam. Mereka kemudian bergerak ke pedalaman, perbukitan. Melewati Pakkat, Dolok Sanggul, dan dataran tinggi Tele mencapai Pantai Barat Danau Toba. Mereka kemudian mendirikan perkampungan pertama di Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana di seberang kota Pangururan yang sekarang. Mitos Pusuk Buhit pun tercipta.

Masih dalam budaya ‘splendid isolation’, di sini, Bangsa Batak dapat berkembang dengan damai sesuai dengan kodratnya. Komunitas ini kemudian terbagi dalam dua kubu. Pertama Tatea Bulan yang dianggap secara adat sebagai kubu tertua dan yang kedua; Kubu Isumbaon yang di dalam adat dianggap yang bungsu.

Sementara itu komunitas awal Bangsa Batak, jumlahnya sangat kecil, yang hijrah dan migrasi jauh sebelumnya, mulai menyadari kelemahan budayanya dan mengolah hasil-hasil hutan dan melakukan kontak dagang dengan Bangsa Arab, Yunani dan Romawi kuno melalui pelabuhan Barus. Di Mesir hasil produksi mereka, kapur Barus, digunakan sebagai bahan dasar pengawetan mumi, Raja-raja tuhan Fir’aun yang sudah meninggal. Tentunya di masa inilah hidup seorang pembawa agama yang dikenal sebagai Nabi Musa AS.

1000 SM – 1510 M
Komunitas Batak berkembang dan struktur masyarakat berfungsi. Persaingan dan Kerjasama menciptakan sebuah pemerintahan yang berkuasa mengatur dan menetapkan sistem adat.

Ratusan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa Al Masih, Nabi Bangsa Israel di Tanah Palestina, Dinasti Sori Mangaraja telah berkuasa dan menciptakan tatanan bangsa yang maju selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana.

Dinasti tersebut bersama menteri-menterinya yang sebagian besar adalah Datu, Magician, mengatur pemerintahan atas seluruh Bangsa Batak, di daerah tersebut, dalam sebuah pemerintahan berbentuk Teokrasi.

Dinasti Sorimangaraja terdiri dari orang-orang bermarga Sagala cabang Tatea Bulan. Mereka sangat disegani oleh Bangsa Batak di bagian selatan yang keturunan dari Tatea Bulan.

Dengan bertambahnya penduduk, maka berkurang pula lahan yang digunakan untuk pertanian, yang menjadi sumber makanan untuk mempertahankan regenerasi. Maka perpindahan terpaksa dilakukan untuk mencari lokasi baru. Alasan lain dari perpindahan tersebut adalah karena para tenaga medis kerajaan gagal membasmi penyakit menular yang sudah menjangkiti penduduk sampai menjadi epidemik yang parah.

Perpindahan diarahkan ke segala arah, sebagain membuka pemukiman baru di daerah hutan belukar di arah selatan yang kemudian bernama Rao, sekarang di Sumatera Barat. Beberapa kelompok di antaranya turun ke arah timur, menetap dan membuka tanah, sekarang dikenal sebagai Tanjung Morawa, daerah di pinggir Kota Medan.

Satu kerajaan lain yang berdiri di era ini adalah Kerajaan Hatorusan yang didirikan oleh Raja Uti di Sianjur Mula-mula. Pusat kerajaan kemudian dipindahkan ke Barus dan Sigkil. Raja Uti adalah cucu langsung Si Raja Batak dari anaknya Guru Tatebulan.

200 SM-150 M

Orang-orang Mesir (masa Ramses) mengunjungi tanah Batak, tepatnya, Barus untuk membeli kapur barus. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad ke-2 SM mengatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota Barus pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi.

Ptolomeus membicarakan Barus sebanyak lima kali di dalam laporannya dengan pandangan negatif terhadap penduduk pribumi Sumatera, khususnya orang Batak yang dikatakannya sebagai orang-orang kanibal (Wolters hal. 9; Krom h. 57-59)

Begitu pula rombongan kapal Fir'aun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Mereka adalah orang-orang Arab pra-Islam Funisia, Kartago yang sekarang menjadi Libya dan Mesir, Afrika Utara.

100 SM
Sementara itu di pedalaman Batak, Sianjur Mula-mula beberapa kerajaan huta telah berdiri. Tahun 100 SM Kerajaan Batahan Pulo Morsa eksis. Kerajaan ini memakai sistem raja na opat atau raja berempat yang terdiri; Pulo Morsa Julu, dengan Raja Suma Hang Deha, Pulo Morsa Tonga, Raja Batahan Jonggi Nabolon, Pulo Morsa Jau dengan Raja Situan I Rugi-rugi dan Pulo Morsa Jae dengan Raja Umung Bane. Kerajaan ini bertahan selama 24 keturunan.


Sejarah Suku Batak (Bagian 1)

Permulaan Generasi Pertama Manusia

Tersebutlah dalam kitab-kitab suci  bahwa Adam dianggap sebagai manusia pertama dan mengembangkan generasinya bersama  Hawa dan  merekalah yang menjadi Nenek Moyang Manusia.

Generasi berikutnya mulai melahirkan beberapa kelompok bangsa. Bangsa Semetik kemudian menurunkan Bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Khabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Ishak dan Ismail. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistik dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya.

Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tatar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata cipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika, Batak; Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.

Penyebaran populasi manusia terjadi paska “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai Banjir Bah di jaman Nabi Nuh. Di jaman ini pula ada sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan di kapal Nabi Nuh.

73.000-30.000 SM
Penduduk nomaden mendiami sekitar pegunungan Batak, yang meledak membentuk danau Toba, keberadaan mereka berdasarkan penggalian sejarah.

3000-1000 SM
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirp dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos.

Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam splendid isolation di lembah lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan. Mereka sangat jarang membuat kontak bersifat permanen dengan pendatang yang berasal dari komunitas lainnya misalnya komunitas yang berada di tepi pantai, pesisir, yang saat itu banyak dipengaruhi oleh ideologi yang berbeda dengan mereka, misalnya Hinduisme (Yang disinyalir sebagai ajaran turunan dari agama Nabi Nuh AS), Zoroaster, Animisme gaya Yunani dan Romawi dan juga paham-paham baru seperti Buddha, Tao dan Shintoisme

Sifat tersebut masih membekas dan terus dipertahankan oleh orang-orang Batak hingga abad 19. Sampai saat ini, diperkirakan suku bangsa yang berasal dari ras ini masih mempertahankan kebiasaan ini, terutama Bangsa Tayal, bangsa pribumi di Taiwan, Orang-orang Bontoc dan Batak Palawan penghuni pertama daerah Filipina.



Selasa, 03 Mei 2011

Partuturan ni Halak Batak Toba (Sapaan bagi orang Batak Toba)

Ada begitu banyak sapaan kekerabatan yang biasa diucapkan oleh masyarakat Batak yang sering kita dengar, tetapi banyak juga orang yang mengklaim dirinya suku batak tetapi tidak tahu "martutur" (bertutur sapa). Kesalahan dalam sapaan ini bagi masyarakat Batak yang memahami adat dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara sehingga sering muncul ucapan "Naso maradat do ho bah !". 
 
Oleh sebab itu masyarakat Batak wajib memahaminya, berikut ini ada beberapa tutur sapa yang sering diucapkan semoga berguna :
  1. Ale-ale   = teman akrab, bisa saja berbeda marga
  2. Amang Naposo = anak (lk) abang/adik dari hula-hula kita
  3. Amang/ damang/ damang parsinuan =ayah, bapak, sapaan umum menghormati kaum laki-laki
  4. Amangbao = suami dari adik/ kakak (pr) (eda) suami kita
  5. Amangboru = suami kakak atau adik perempuan dari ayah
  6. Amangtua mangulaki = kakek ayah
  7. Amangtua = abang dari ayah, suami dari kakak ibu, suami dari pariban ayah yang lebih tua
  8. Amanguda = adik laki-laki dari ayah, suami dari adik ibu, suami dari pariban ayah yang lebih muda
  9. Amanta/ amanta raja = kaum laki-laki yang biasa dipanggil pada sebuah acara adat
  10. Ampara = sapaan umum buat yang se-marga, marhaha-maranggi (abang-adik) untuk yang laki-laki
  11. Anakboru = perempuan yang masih gadis atau belum menikah
  12. Anggi doli = suami dari anggiboru. Adik (lk) sudah kawin.
  13. Anggi = adik kita (lk), adik (pr) boru tulang
  14. Anggiboru = isteri adik kita yang laki-laki, istri dari adik yang satu marga
  15. Angkang boru = isteri abang satu marga
  16. Angkang doli = abang, laki-laki yang lebih tua dari kita yang sudah menikah dan satu marga sesuai tarombo / silsilah
  17. Angkangboru mangulaki = namboru ayah dari seorang perempuan
  18. Bere = semua anak (lk / pr) dari adik/kakak perempuan
  19. Bona niari = tulang dari kakek
  20. Bonaniari binsar = tulang dari ayah kakek
  21. Bonatulang = tulang dari ayah
  22. Boru diampuan = keturunan dari namboru ayah
  23. Boru = anak kandung perempuan, semua pihak keluarga dari saudara perempuan
  24. Borutubu = semua menantu (lk) / isteri dari satu ompung
  25. Dahahang (baoa/ boru) = abang kita atau isterinya
  26. Dainang = ibu, sebutan kasih sayang anak kepada ibu, digunakan juga oleh ayah kepada anak perempuannya
  27. Dakdanak = anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil
  28. Damang = ayah, bapak, sebutan kasih sayang dari anak kepada ayah, digunakan juga oleh ibu kepada anaknya sendiri
  29. Dolidoli = laki-laki yang masih lajang atau belum menikah
  30. Dongan sahuta = kekerabatan akrab karena tinggal dalam satu kampung
  31. Dongansapadan = dianggap semarga karena diikat oleh janji atau ikrar
  32. Dongantubu = abang/ adik satu marga
  33. Eda = kakak atau adik ipar antar perempuan, sapaan awal antara sesama wanita
  34. Haha = abang laki-laki
  35. Hahadoli = sebutan isteri terhadap abang (kandung) suaminya, abang dari urutan marga
  36. Hela = suami anak perempuan kita, menantu laki-laki, bisa juga sebutan untuk suami dari anak perempuan kita yang se-marga dan setarap menurut silsilah marga
  37. Hula-hula = keluarga abang/adik (lk) dari isteri
  38. Ibebere = keluarga anak (lk/pr) dari pihak perempuan
  39. Inang simatua = ibu mertua
  40. Inangbao = isteri dari adik/ abang (lk) istri kita
  41. Inangnaposo = isteri dari amangnaposo
  42. Inangtua mangulaki = nenek ayah
  43. Inangtua = isteri dari abang ayah, ada juga inangtua marpariban
  44. Inanguda = isteri dari adik ayah, ada juga inanguda marpariban
  45. Inanta/ inanta soripada = sebutan penghormatan bagi wanita sudah menikah, kaum ibu yang lebih dihormati dalam acara adat
  46. Ito, iboto = kakak atau adik perempuan satu marga, sapaan awal dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, panggilan kita kepada anak perempuan dari namboru
  47. Lae = tutur sapa anak laki-laki tulang dengan kita (lk) maupun sebaliknya, tutur sapa awal perkenalan antara dua laki-laki, suami dari kakak atau adik kita sendiri (lk), anak laki-laki dari namboru kita (lk)
  48. Maen = anak-gadis dari hula-hula kita
  49. Namboru = kakak atau adik ayah kita yang sudah menikah maupun belum
  50. Nantulang = isteri dari tulang kita, mertua dari adik kita yang perempuan
  51. Nini = sebutan untuk anak dari cucu laki-laki
  52. Nono = sebutan untuk anak dari cucu perempuan
  53. Ompung boru = nenek, orang tua perempuan dari ayah kita
  54. Ompung doli = kakek, orang tua laki-laki dari ayah kita
  55. Ompungbao = kakek/nenek dari ibu kita, orangtua dari ibu kandung kita
  56. Ondok-ondok = cucu dari cucu laki-laki
  57. Pahompu = sebutan untuk semua cucu, anak - anak dari semua anak kita
  58. Pamarai = abang atau adik dari suhut utama, orang kedua
  59. Paramaan = anak (lk) dari hula-hula
  60. Pariban = semua anak perempuan dari pihak tulang kita, abang-adik karena isteri juga kakak-beradik, anak perempuan yang sudah menikah dari pariban mertua perempuan
  61. Parumaen = mantu perempuan, isteri dari anak
  62. Rorobot, tulangrorobot = tulang isteri (bukan narobot)
  63. Simatua boru = mertua perempuan, ibu dari istri
  64. Simatua doli = mertua laki-laki, ayah/ bapak dari istri
  65. Simolohon / simandokhon = iboto, kakak atau adik laki-laki
  66. Suhut = pemilik hajatan kelompok orang yang membuat acara adat
  67. Tulang = abang atau adik dari ibu, mertua dari adik kita yang laki-laki
  68. Tulang naposo = paraman yang sudah menikah
  69. Tulang Ni Hela = tulang dari pengantin laki-laki
  70. Tunggane boru, inang siadopan, pardijabunami, = isteri
  71. Tunggane doli, amang siadopan, amanta jabunami = suami
  72. Tunggane = semua abang dan adik (lk) dari isteri kita, semua anak laki-laki dari tulang

untuk lebih menyempurnakan tulisan ini, penulis berharap buat saudara sekalian yang membaca mohon berikan komentarnya. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Senin, 02 Mei 2011

Arti dan Asal Mula Kata "BATAK"

Sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Phill Ichwan Azhari menyampaikan hasil penelitiannya di Jerman terkait etimologi (asal-usul kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Simpulan Ichwan: Batak bukan berasal dari Batak sendiri, tapi dikonstruksi para musafir barat dan dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Benarkah demikian?

Ilmuwan Batak yang juga Guru Besar Departemen Sejarah Unimed Prof Bungaran A Simanjuntak sedikit ‘gerah’ dengan publikasi Ichwan itu. Menurut Bungaran, tak perlu terlalu meyakini arsip-arsip di Jerman. “Belum tentu arsip-arsip di sana merupakan arsip yang valid, perlu dikonfirmasi ulang. Saya rasa kita tidak perlu terlalu menghebat-hebatkan arsip yang ada di sana,” katanya via telepon seluler, Kamis (18/11) lalu.

Bungaran menegaskan, asal-usul nama etnik Batak merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda. Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Nama ini sudah sejak lama ada,” katanya.

Menurutnya, etnis Batak merupakan ras Mongolia Mansuria. “Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai tentara Mongol ini dengan ’Batak.’ Itulah awal nama etnik Batak,” tutur Bungaran.

Bukan Hal Baru

Bagi sebagian orang, hasil penelitian Ichwan itu mungkin mengejutkan. Tapi bagi sebagian lain, ini polemik yang sudah ‘basi’, sebab sudah sejak awal abad ke-20 pengertian dan asal kata Batak dipolemikkan. Sebutan atau perkataan Batak sebagai nama satu etnis di Indonesia, misalnya, sudah dibicarakan dalam beberapa penerbitan surat kabar pada tahun 1900-an. Sejumlah penulis ketika itu sudah berdebat, apa sesungguhnya pengertian kata (nama) Batak dan dari mana asal muasal kata itu?

Di suratkabar Pewarta Deli No. 82 tahun 1919, misalnya, polemik terjadi antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J Simanjutak. Polemik yang sama terjadi di suratkabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920.

Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya tampil sebagai penengah di antara silang pendapat yang ada. JS mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903, ada halaman 64 menulis: “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…

Berdasarkan sejumlah referensi, umumnya kata Batak menyiratkan defenisi tentang keberanian atau keperkasaan. Menurut Ambrosius Hutabarat dalam catatannya di suratkabar Bintang Batak tahun 1938, pengertian Batak adalah orang yang mahir menaiki kuda, memberi gambaran pula bahwa suku itu dikenal sebagai suku yang berjiwa keras, berani, perkasa. Kuda merupakan perlambang kejantanan, keberanian di medan perang, atau kegagahan menghadapi bahaya/rintangan.

Bahkan, salah seorang pemikir Batak ketika itu, Drs. DJ. Gultom Raja Marpodang menulis teori bahwa suku Batak adalah sai-Batak Hoda yang artinya suku pemacu kuda. Asal-usul suku Batak berdasarkan teori adalah pendatang dari Hindia Belanda (sekitar Asia Tenggara sekarang), masuk ke pulau Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia.

Drs DJ Gultom bahkan bersusah payah melakukan serangkaian penyelidikan intensif seputar arti kata Batak dengan membaca sejarah, legenda, mitologi, termasuk wawancara dengan orang-orang tua, budayawan dan tokoh adat. Beberapa perkataan “batak” antara lain ditemukan dalam hampir seluruh bahasa sub etnis Batak mulai Pak-pak, Karo, Simalungun, Mandailing dan Toba, yang pada umumnya bermakna heroik, tidak negatif. Berbagai penjelasan itu disampaikan untuk meluruskan anggapan seolah-olah ‘Batak’ adalah suatu aliran/kepercayaan tentang suatu agama yang dikembangkan pihak tertentu mendiskreditkan citra orang Batak ketika itu.

Namun dalam pemeriksaan Ichwan terhadap arsip-arsip di Jerman, penelusuran data di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda, sama sekali tidak ada penjelasan tentang defenisi Batak sebagai penunggang kuda, yang kemudian diplesetkan sehingga menjadi sangat peyoratif terhadap identitas kebatakan.

Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Tak mengherankan peneliti Batak asal Belanda bernama Van der Tuuk, pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan Batak untuk nama etnik karena imej negatif pada kata itu.

“Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu,” katanya.

Dalam peta-peta kuno itu, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat. kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Bermula dari Daniel Perret

Menurut salah seorang pengamat Kebatakan, Thompson Hs, penelitian Ichwan Azhari itu terkait dengan isu tentang Batak yang dilontarkan Daniel Perret dalam bukunya berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku tersebut sudah diseminarkan oleh PUSSIS pimpinan Ichwan Azhari sendiri.
Dalam buku Daniel Perret, semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara melayu yang dianggap beradab melalui kesultanan dan keislamannya dan posisi orang-orang “batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab.

“Peta dikotomi ini saya kira yang ingin diungkapkan kembali oleh Ichwan Azhari tanpa mengungkap posisi Melayu di Sumatera Utara. Kita tunggu saja sambungan penelitiannya,” ujar Thompson.

Menurut Thompson, hasil penelitian Ichwan itu juga terkait dengan kepentingan isu Batak yang diperdebatkan lagi oleh sebagian orang Karo belakangan ini. Dalam sebuah diskusi di Padangbulan baru-baru ini, identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan muncul dari seorang antroplog Karo, Juara Ginting. Juara mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak disematkan pada suku Karo. Menurut Juara, tak ada kaitan antara Batak dengan Karo. Juara tak setuju jika Karo dianggap Batak, sebab Karo punya standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan tidak bisa langsung diklaim, harus dilihat dari banyak sisi.

“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum. Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson.

Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.

Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun.

Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda.
Kembali ke hasil penelitian Ichwan. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial.

Perlahan-lahan konsep Batak itu meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak.

 
(Hariansumutpos-Panda MT Siallagan/saz)

Simamora Debataraja